Berawal dari Teriakan, Kasus Penganiayaan di Bantaeng Diselesaikan Wakajati Sulsel dengan Keadilan Restorative

Berawal dari Teriakan, Kasus Penganiayaan di Bantaeng Diselesaikan Wakajati Sulsel dengan Keadilan Restorative

KEJATI SULSEL, Makassar — Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Robert M. Tacoy didampingi Aspidum, Rizal Syah Nyaman, Kasi A Alham dan Kasi C, Parawangsa melakukan ekspose perkara dari Kejaksaan Negeri Bantaeng untuk diselesaikan lewat keadilan restorative (Restoratif Justice/RJ) di Kejati Sulsel, Jumat (22/8/2025).

Ekspose perkara RJ ini juga diikuti secara virtual oleh Kepala Kejaksaan Negeri Bantaeng, Satria Abdi, Kasi Pidum, Jaksa Fasilitator dan jajaran secara daring melalui zoom meeting.

Kejari Bantaeng mengajukan perkara tindak pidana penganiayaan untuk diselesaikan dengan pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice/RJ). Perkara ini melibatkan tersangka AR (55) dan korban SN (53), yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana. Upaya perdamaian ini telah dilaksanakan di Kantor Kejaksaan Negeri Bantaeng pada Kamis, 14 Agustus 2025.

Berdasarkan kasus posisi, insiden penaniayaan terjadi pada 1 Juli 2025. Saat itu, korban SN sedang menuju swalayan di Jl. Monginsidi, Kelurahan Bonto Rita, Kecamatan Bissappu, Kabupaten Bantaeng, untuk bertemu dengan seorang pedagang sayur. Namun, sesampainya di sana, tiba-tiba tersangka AR yang diketahui sedang mabuk, berteriak "OEEEE!" ke arah korban. Korban pun menghampiri tersangka dan bertanya, "SIAPA YANG KAMU TERIAKI?". Tersangka menjawab, "BUKAN KAMU YANG SAYA TERIAKI," meski tidak ada orang lain di sekitar lokasi.

Ketika korban hendak meninggalkan tempat itu, tersangka secara tiba-tiba menarik senjata tajam jenis taji dari saku celananya dan langsung menyabetkannya ke arah korban sebanyak dua kali. Serangan ini menyebabkan luka robek pada lengan kanan dan lengan kiri korban. Setelah melakukan aksinya, tersangka langsung melarikan diri dari lokasi kejadian. 

Berdasarkan hasil profiling, diketahui bahwa tersangka AR adalah warga asli Bantaeng yang sempat merantau ke Papua Barat. Ia kembali ke Bantaeng pada Mei 2025 untuk merawat adiknya yang sakit. Tersangka dikenal baik oleh tetangga, tidak pernah terlibat perselisihan, dan merupakan tulang punggung keluarga dengan pekerjaan sebagai pedagang buah dan sayur.

Penyelesaian kasus ini melalui RJ dilakukan setelah Kejaksaan menilai semua syarat yang diatur dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 terpenuhi. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan antara lain: Tersangka merupakan pelaku tindak pidana untuk pertama kali; Ancaman pidana di bawah 5 tahun; Telah tercapai kesepakatan perdamaian secara sukarela antara kedua belah pihak; Tersangka telah memberikan ganti rugi biaya pengobatan kepada korban; Luka korban telah sembuh total dan dapat beraktivitas kembali; Masyarakat merespons positif upaya perdamaian ini.

Wakajati Sulsel, Robert M. Tacoy menyetujui permohonan RJ ini setelah mempertimbangkan syarat dan keadaan yang diatur dalam  Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif Justice.

“Keputusan penghentian penuntutan ini menunjukkan komitmen Kejaksaan dalam mengedepankan pemulihan hubungan sosial dan mengembalikan harmoni di masyarakat, alih-alih hanya berfokus pada penjatuhan hukuman. Langkah ini sejalan dengan visi Kejaksaan untuk memberikan keadilan yang lebih humanis dan restoratif bagi semua pihak yang terlibat,” kata Robert.

Setelah proses RJ disetujui, Wakajati Sulsel meminta jajaran Kejari Bantaeng untuk segera menyelesaikan seluruh administrasi perkara dan tersangka segera dibebaskan.

“Saya berharap penyelesaian perkara zero transaksional untuk menjaga kepercayaan pimpinan dan publik,” pesan Robert.

Bagikan tautan ini

Mendengarkan